Jumat, 04 November 2011

Rachmat Sentika dan Masa Depan Posyandu


Jumlah anak balita di Indonesia yang menderita gizi buruk meningkat dari 1,8 juta jiwa pada tahun 2005 menjadi 2,3 juta jiwa pada tahun 2006. Pernyataan dr Rachmat Sentika (60) yang mengutip laporan Unicef itu mengejutkan banyak pihak.

“Situasi ini kalau dibiarkan akan menyebabkan hilangnya satu generasi. Penderita gizi buruk akan mengalami bodoh permanen,” ujar Rachmat Sentika, dokter Puskesmas Teladan 1985 dan konseptor pos pelayanan terpadu atau posyandu ini.

Kegelisahan Rachmat Sentika ini wajar. Ia menilai, salah satu penyebab meningkatnya jumlah anak balita bergizi buruk karena posyandu tidak diaktifkan lagi sebagai ujung tombak layanan kesehatan dasar masyarakat hingga ke pelosok desa.

“Tiga tahun terakhir ini tak ada lagi dokter yang bertugas di puskesmas akibat kebijakan yang menghapuskan kewajiban dokter lulusan baru bertugas di puskesmas,” ungkap Rachmat Sentika di kantornya di kawasan Cibubur, Kota Depok.

Rachmat Sentika yang saat ini menjabat selaku Kepala Bumi Perkemahan dan Graha Wisata Pramuka (Buperta) ini sejak duduk di bangku SMP Negeri 2 Bandung (1968-1971) sudah menjadi anggota pramuka.

Pada tahun 1971, Rachmat terpilih sebagai peserta Jambore Dunia Ke-13 di Jepang. “Sejak itulah saya berjanji, sekali pramuka tetap pramuka,” katanya.
Bagi pria kelahiran Sukabumi, 9 Februari 1956 ini, Trisatya dan Dasadharma selalu terngiang, yaitu menjalankan kewajiban kepada negara, menolong sesama, dan ikut serta membangun masyarakat. “Menolong sesama hidup, dedicatio pro humanitas. Prinsip itu menjadi darah daging dan napas sehari-hari,” ujarnya.

Sebagian besar hidupnya memang didedikasikan untuk kemanusiaan, dari anak, generasi muda, sampai kaum perempuan.
Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 1982, Rachmat menjadi dokter puskesmas di Kecamatan Pamanukan, Kabupaten Subang, Jabar. Baru enam bulan, dia dipindahkan menjadi Kepala Puskesmas Pagaden, Subang.

Saat itu, pemerintah melalui BKKBN yang dipimpin Haryono Suyono sedang gencar melaksanakan Safari Keluarga Berencana berupa program lintas operasi peningkatan pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim. “Waktu itu masyarakat dipaksa menggunakan IUD dan spiral. Ini menggetarkan jiwa saya karena saya menolak cara-cara pemaksaan seperti itu,” ungkapnya.

Berbekal pengalamannya sebagai petugas lapangan KB Kota Bandung ketika masih mahasiswa, Rachmat menawarkan strategi baru, yaitu strategi keterpaduan dengan prinsip six to one dan one for all. Artinya, enam kegiatan menjadi satu dan satu kegiatan untuk semua.

Enam kegiatan itu adalah Keluarga Berencana (KB), penimbangan anak balita, imunisasi, penanggulangan diare, kesehatan ibu dan anak, dan penyuluhan kesehatan. Semuanya disatukan dalam pos pelayanan terpadu atau posyandu di tingkat rukun warga atau dusun.

Ketika bertugas di Puskesmas Pagaden, Subang, 1982-1983, Rachmat memiliki empat tim yang memperkenalkan KB, imunisasi, dan pemeriksaan ibu hamil, yang dilakukan seminggu empat kali.

Dalam sebulan, pihaknya mengoperasikan 64 posyandu di satu kecamatan. Satu posyandu dimanfaatkan untuk semua sasaran, dari bayi, anak balita, ibu hamil, ibu menyusui, sampai pasangan usia subur. Ini dilakukan kerja sama dengan PKK, kepala desa, dan camat,” paparnya.

Dengan pola keterpaduan di tingkat kecamatan dan desa, semua teknologi kesehatan yang dapat dilakukan masyarakat diserahkan dan dikelola sendiri oleh masyarakat. Puskesmas sebagai perpanjangan tangan dinas kesehatan menyalurkan sarana dan prasarana yang diperlukan seperti Kartu Menuju Sehat (KMS), dacin, atau timbangan.

Dengan cara ini pula, 90 persen pasangan usia subur menjadi akseptor KB tanpa paksaan, 90 persen ibu hamil diperiksakan kehamilannya oleh tenaga medis sebulan sekali. Setiap anak balita mempunyai KMS dan ditimbang rutin, kenaikan badannya dipantau. Semua kasus, termasuk gizi rendah, langsung dapat dengan cepat diatasi.

Keberhasilan ini membuat Kecamatan Pagaden mendapat penghargaan dan Rachmat Sentika meraih penghargaan sebagai Dokter Puskesmas Teladan Tingkat Nasional. Konsep ini kemudian diadopsi oleh Gubernur Jabar Aang Kunaefi tahun 1983, menjadi Gerakan Hidup Sehat.

Tingkat nasional
Pada 12 November 1984, konsep ini diadopsi ke tingkat nasional menjadi Gerakan Keterpaduan KB Kesehatan oleh Ny Soepardjo Roestam, Menkes Adhyatma, dan Ketua BKKBN Haryono Suyono.
Posyandu dikembangkan ke seluruh pelosok Nusantara. Rachmat Sentika diangkat menjadi konsultan domestik Direktorat Peran Serta Masyarakat Departemen Kesehatan. Pada 1984, semua provinsi di Indonesia sudah membuat posyandu.

Berkat menasionalkan posyandu, Ny Soepardjo Roestam mendapat penghargaan internasional dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), UNDP, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa karena dinilai berhasil mengembangkan preliminary health care atau persiapan perawatan kesehatan.

Rachmat mendapat penghargaan menyelesaikan program studi spesialis anak tanpa harus menyelesaikan wajib kerja sarjana 5 tahun. Waktu itu dia sempat mengikuti selama 3 tahun 2 bulan. Tahun 1986, Rachmat masuk Pendidikan Dokter Spesialis Anak Fakultas Kedokteran Unpad dan lulus tahun 1990.

Rachmat memprakarsai pemberian vitamin dan protein pada tepung terigu untuk meningkatkan gizi masyarakat mengingat sebagian besar penduduk mengonsumsi tepung. Ia juga menggagas asuransi kesehatan dengan sistem jaminan pendidikan kesehatan masyarakat.

Suami dari Ir Lia Rachmalia dan ayah dari dua putri ini tumbuh menjadi tokoh pemuda, aktif di AMPI dan Pemuda Panca Marga Jawa Barat.
Berkat prestasinya sebagai tokoh pemuda, Rachmat Sentika terpilih sebagai anggota DPR dari Fraksi Golkar untuk daerah pemilihan Jawa Barat, untuk periode 1992-1997 dan 1997-1999.

Dia juga mengembangkan dialog antaranggota parlemen yang berprofesi dokter dan tenaga medis di seluruh dunia.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan